Pages

Jumat, 21 Maret 2014

Memposisikan Nilai-Nilai Hukum Pidana Adat Sebagai Sumber Hukum Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional

A.   Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, adat istiadat, bahasa, ras, kebudayaan yang tersebar di seluruh Nusantara. Keberagaman ini merupakan suatu kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun. Dalam kehidupan sosial, suatu masyarakat khususnya masyarakat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari hukum, sebagaimana adagium yang sering kita dengar yakni ibi ius ibi societas (dimana ada masyarakat disitu terdapat hukum) oleh karenanya Indonesia menjadi suatu negara yang berdasarkan hukum (rechts staat).
Dalam sistem hukum Indonesia, dikenal tiga sistem hukum yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya, yakni hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat. Berbicara mengenai hukum adat di Indonesia, adat yang dimiliki oleh daerah-daerah suku-suku bangsa Indonesia adalah berbeda-beda, meskipun sifat dan dasarnya adalah satu, yaitu ke-Indonesiaan. Oleh karena itu maka adat bangsa Indonesia dikatakan merupakan “Bhinneka” (berbeda-beda di daerah suku-suku bangsanya), “Tunggal Ika” (tetapi tetap satu juga, yaitu dasar dan sifat ke-Indonesiaannya). Dan adat bangsa Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika” ini tidak mati, melainkan selalu berkembang, senantiasa bergerak serta berdasarkan keharusan selalu dalam keadaan evolusi mengikuti proses dan perkembangan peradaban bangsanya.[1]
 Antara hukum dengan kehidupan masyarakat memang berkaitan erat, hukum berperan besar dalam mewujudkan ketertiban dan kemananan. Apabila hal-hal yang menyimpang terjadi, maka peran hukum dapat dilihat secara lebih konkrit dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Di dalam ranah lapangan hukum pidana, ada dua hukum yang berbeda yang digunakan oleh masyarakat Indonesia yakni, hukum pidana yang bersumber pada peraturan yang tidak tertulis serta kebiasaan adat setempat (namun ada sebagian daerah yang mengkodifikasikannya dalam suatu peraturan adat atau hukum pidana adat) dan hukum yang bersumber pada peraturan yang tertulis yakni hukum pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (warisan kolonial Belanda).
Hukum pidana adat atau delik adat (sebagaimana diartikan Van Vollenhoven)[2] adalah mengatur mengenai tindakan yang melanggar rasa keadilan dan kepatutan yang hidup ditengah masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat. Untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut, maka terjadi reaksi adat.[3]
Keberadaan hukum pidana adat pada masyarakat merupakan pencerminan kehidupan masyarakat tersebut dan pada masing-masing daerah memiliki hukum pidana adat yang berbeda-beda sesuai dengan adat istiadat yang ada di daerah tersebut dengan ciri khas tidak tertulis dan terkodifikasi.[4]
Pada dasarnya hukum pidana Indonesia yang sekarang berlaku merupakan warisan kolonial yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Staatblad 1915 No 732), sehingga dapat dipahami bahwa asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana Indonesia dan hukum pidana kolonial masih berlaku di Indonesia. Usaha untuk menggali hukum pidana adat yang merupakan hukum pidana asli Indonesia terus dilakukan secara berkesinambungan dalam rangka pembaharuan hukum pidana. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach). Ketika kita melihat pembaharuan pidana melalui sudut pendekatan nilai, maka upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang akan datang, diharapkan mampu mengefektifkan hukum pidana tersebut dalam aplikasinya. Sehingga perlu ditanamkan nilai-nilai hukum pidana adat sebagai muatan hukum normatif dan substantif dalam hukum pidana nasional yang dicita-citakan dimasa yang akan datang.
Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ada sekarang ini tidak terlepas dari pemikiran bahwa karakteristik hukum di Indonesia merupakan adopsi dari tatanan sosial masyarakat yang tercermin dalam tata laku hidup dan kehidupan sosial dalam ranah keragaman masyarakat Indonesia yang heterogen dan plural. Keberadaan hukum adat khususnya pidana adat sebagai hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat tidak dapat dipungkiri peranannya dalam suatu kerangka dasar penyusunan hukum pidana nasional di masa yang akan datang.
                Berdasarkan hal tersebut maka akan dibahas dalam tulisan ini bagaimana posisi hukum pidana adat di Indonesia serta bagaimana memposisikan nilai-nilai hukum pidana adat sebagai sumber hukum dalam pembaharuan hukum pidana nasional.

B. PEMBAHASAN
1. Posisi Hukum Pidana Adat di Indonesia
Ketika dilihat dari kearifan masyarakat adat Indonesia yang bercorak religios-magis, secara konkrit terkristalisasi dalam produk hukum masyarakat lokal, yang dalam ancangan antropologi hukum disebut hukum kebiasaan (customary), hukum rakyat (folk law), hukum penduduk asli (indigenous law), hukum tidak tertulis (unwritten law), atau hukum tidak resmi (unofficial law), atau dalam konteks Indonesia disebut hukum adat (adat law/adatrecht).[5]
Jenis hukum rakyat ini merupakan sistem norma yang mengejawantahkan nilai-nilai, asas, struktur, kelembagaan, mekanisme, dan religi yang tumbuh, berkembang, dan dianut mesyarakat lokal, dalam fungsinya sebagai instrumen untuk menjaga keteraturan interaksi antara warga masyarakat (social order), keteraturan hubungan dengan sang pencipta dan roh-roh yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural (spiritual order), dan menjaga keteraturan perilaku masyarakat dengan alam lingkungannya (ecological order).[6]
Pada dasarnya hukum pidana adat adalah hukum yang hidup dan akan terus hidup, selama ada manusia dan budaya, ia tidak akan dihapus dengan perundang-undangan. Andaikata diadakan juga undang-undang yang akan menghapuskannya, maka akan percuma saja, malahan hukum pidana perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya, oleh karena hukum pidana adat lebih dekat dengan hubungannya dengan antropologi dan sosiologi daripada hukum perundang-undangan.[7]
Dilihat dari perspektif normatif, teoritis, asas dan praktik dimensi dasar hukum dan eksistensi keberlakuan hukum pidana adat di Indonesia bertitik tolak berdasar dari ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil (LN 1951 Nomor 9). Pada ketentuan dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa:
“Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh Hakim dengan besar kesalahan terhukum, bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas, bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana yang ada bandingnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana tersebut”.
Selain ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, maka dasar hukum berlakunya hukum pidana adat juga mengacu ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara eksplisit maupun implisit ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) dalam undang-undang tersebut meletakkan dasar eksistensi hukum pidana adat. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa:
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Kemudian ketentuan Pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada dan kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 50 ayai (1) disebutkan:
“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
Ada tiga konklusi dasar dari ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Pertama, bahwa tindak pidana adat yang tiada bandingan atau padanan dalam KUHP dimana sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat yang ringan ancaman pidananya adalah pidana penjara dengan ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak lima ratus rupiah (setara dengan kejahatan ringan), minimumnya sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu 1 hari untuk pidana penjara dan pidana denda minimal 25 sen sesuai dengan ketentuan Pasal 30 KUHP. Akan tetapi, untuk tindak pidana adat yang berat ancaman pidana paling lama 10 tahun , sebagai pengganti dari hukuman adat yang tidak dijalani oleh terdakwa. Kedua, tindak pidana adat yang bandingannya dalam KUHP maka ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP seperti misalnya tindak pidana adat Drati Kerama di Bali atau Mapangaddi (Bugis) Zina (Makassar) yang sebanding dengan tindak pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP. Ketiga, sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat dijadikan pidana pokok dan atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup (living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan KUHP.[8]
 
2  2. Memposisikan Nilai-Nilai Hukum Pidana Adat sebagai Sumber Hukum dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
Secara umum pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.[9]
Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan. Pertama, sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya  merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya). Kedua, sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan). Ketiga, sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.[10]
Dilihat dari sudut pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (Wetboek van Strafrechts).[11]
Barda Nawawi Arief dalam pidato pengokohan guru besarnya menyatakan bahwa, penggalian dan pengembangan nilai-nilai hukum pidana yang hidup di dalam masyarakat bertumpu pada dunia akademik/keilmuan. Nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai “batang terendam” yang belum banyak terangkat ke permukaan. Upaya pengangkatan batang terendam ini penting dilakukan untuk dikaji secara mendalam sebagai bahan penyusunan hukum nasional.[12]
Pada asasnya, secara substansial sistem hukum pidana adat berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam suatu masyarakat dengan bercirikan asas kekeluargaan, religius magis, komunal dan bertitik tolak bukan atas dasar keadilan individual akan tetapi keadila secara bersama. Konsekuensi logis dimensi penyelesaian membawa keselarasan, kerukunan dan kebersamaan. Tegasnya, hukum adat lebih mengedepankan eksistensi pemulihan kembali keadaan yang terguncang akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku. 
Karakter-karakter nilai hukum pidana adat yang telah dikemukakan tersebut adalah cerminan dari karakter masyarakat Indonesia. Sifat kekeluargaan dan komunalistik dapat terlihat dari kebiasaan gotong-royong yang biasa dilakukan dalam menghadapi pekerjaan besar secara bersama-sama ataupun dalam mekanisme musyawarah yang biasa dilakukan masyarakat sejak berabad-abad lampau dalam memecahkan suatu permasalahan bersama. Sifat religius magis terlihat dari kebiasaan masyarakat seperti halnya pemberian sesajen, upacara selamatan, sedekah bumi dan lainnya. Hal itu mencerminkan masyarakat Indonesia membedakan antara dimensi dunia lahir dan dunia gaib.
Apabila kita memperhatikan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, maka ada alasan pula untuk mengatakan bahwa sumber hukum dalam kaitan ini adalah hukum pidana adat maka sumber hukum tersebut adalah masyarakat. Yang dimaksud dengan masyarakat adalah hubungan antar individu dalam suatu kehidupan bersama (bermasyarakat). Sumber hukum sebenarnya adalah kesadaran masyarakat tentang apa yang dirasakan adil dalam mengatur hidup kemasyarakatan yang tertib dan damai. Jadi, sumber hukum tersebut harus mengalirkan aturan-aturan (norma-norma) hidup yang adil dan sesuai dengan perasaan dan kesadaran hukum (nilai-nilai) masyarakat, yang dapat menciptakan suasana damai dan teratur karena selalu memperhatikan kepentingan masyarakat. Oleh karenanya, pembaharuan hukum pidana di sini haruslah dilakukan secara menyeluruh dan sistematis dengan memperhatikan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat. Jadi, ukuran untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan bergantung pada nilai-nilai dan pandangan kolektif yang terdapat di masyarakat mengenai apa yang benar, baik, bermanfaat atau sebaliknya. “Das rechts wird nicht gemacht, es ist und wird  mit  dem volke” yang berati hukum itu tidak dibuat, tetapi berada dan berkembang dengan jiwa bangsa seperti pendapatnya Von Savigny.[13]
Mengutip pendapat Muladi, KUHP Nasional di masa-masa datang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru. Khusus sepanjang yang menyangkut alasan sosiologis, hal ini dapat menyangkut yang bersifat ideologis maupun hal-hal yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia sepanjang tetap dalam kerangka bagian budaya bangsa (subsulture) dan bukan merupakan budaya tandingan (counter culture).[14]
Sebagai implementasi pemikiran Muladi itu, mengenai pembaharuan hukum pidana nasional, dikatakan bahwa dalam Rancangan KUHP Baru telah memuat suatu rumusan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan yang dilakukan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dan mengakui adanya hukum yang hidup atau hukum adat yang berlaku. Jadi selain adanya asas legalitas sebagai asas yang fundamental bagi negara Republik Indonesia yang berdasarkan hukum juga mengakui adanya hukum pidana adat yang masih hidup untuk daerah-daerah tertentu.[15]
Dengan perumusan pasal 1 ayat (3) RUU KUHP itu maka hukum adat dapat menjadi sumber hukum positif dalam arti hukum pidana adat dapat menjadi dasar hukum pemeriksaan di Pengadilan dan juga sebagai sumber hukum negatif yaitu ketentuan-ketentuan hukum adat dapat menjadi alasan pembenar, alasan memperingan pidana atau memperberat pidana. Sebagai dasar problematika substantif hukum pidana adat dan hukum pidana nasional, dengan sendirinya akan teratasi karena hukum yang nantinya akan terbangun adalah hukum yang benar-benar berasal dari masyarakat dan hukum tersebut memang bersubstansikan langsung dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Dengan demikian hukum akan selalu linier dengan tuntutan keadilan bagi seluruh masyarakat, serta hukum pidana adat di masa yang datang akan menjadi sumber hukum dan menjadi dasar dalam pembentukan hukum pidana nasional. Oleh karena itu hukum pidana adat sangat relevan untuk dijadikan bahan penyusunan Rancangan KUHP  yang akan berlaku secara efektif. Sehingga KUHP Baru Indonesia akan mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan sesuai dengan kebudayaan bangsa yang berasal dari jiwa serta kepribadian bangsa. 

C. Penutup
1.   Kesimpulan
          Secara eksplisit dan impllisit dalam Undang-Undangan Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil dan juga ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah terlihat meletakkan dasar eksistensi hukum pidana adat di Indonesia.
Berangkat dari adanya kesadaran kritis dari memahami posisi nilai-nilai hukum pidana adat , maka tawaran dan wacana untuk kembali kepada hukum adat sebagai masukan pembangunan dan pengembangan hukum pidana nasional  yang menjadi suatu tawaran yang logis, kritis, serta solutif, sehingga dengan demikian akan menjadikan suatu wujud keyakinan dalam tujuan penciptaan hukum pidana nasional yang mampu memberikan keadilan bagi rakyat Indonesia
2.   Saran
              Mengamini dari posisi hukum pidana adat dalam perundangan Indonesia yang terlihat secara eksplisit dan implisit, tidak dapat dipungkiri hukum pidana adat dapat dimasukkan ke dalam konsep pembaharuan hukum pidana nasional, sehingga diharapkan para pemangku kepentingan untuk terus memperkuat, mengkaji dan memperkaya materi yang menjadi masukan dalam pembaharuan hukum pidana nasional yang tidak terlepas dari nilai-nilai hukum pidana adat yang ada di Indonesia.





[1] Surojo Wignjodipuro, Pengantar Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung Anggota IKAPI, 1982), hlm. 13. 
[2] Van Vollenhoven dalam bukunya En Adatwetboekje voor heel Indie Pasal 92 menyebutkan bahwa pengertian delik adat itu sebagai perbuatan yang tidak dibolehkan. Lihat Ibid, hlm. 228.
[3] Topo Santoso,  Pluralisme Hukum Pidana Indonesia,  (Jakarta: PT Ersesco, 1990), hlm. 9. 
[4] Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Menuju Hukum Adat Minangkabau, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 11.
[5] I Nyoman Nurjaya, Menuju Pengakuan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam: Perspektif Antropologi Hukum, dalam Rachmad Syafa’at, dkk, Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal, (Malang: In-Trans Publishing, 2008), hlm. 8. 
[6] Ibid, hlm. 9.
[7] Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 20. 
[8] Lilik Mulyadi, Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Teori, Praktik, dan Prosedurnya. Tulisan tersebut dapat dilihat dalam website Pengadilan Negeri Kepanjen.  http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=117&Itemid=36 diakses tanggal 29/12/2013.
[9] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru),  Edisi Kedua Cetakan ke-3,  (Jakarta:  Kencana, 2011), hlm. 29. 
[10] Ibid, hlm. 29-30. 
[11] Ibid.
[12] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), (Semarang: Universitas Diponegoro, 2007), hlm. 50. 
[13] Dalam teori Von Savigny disebutkan bahwa setiap bangsa mempunyai jiwanya masing-masing yang disebut Volkgeist, artinya Jiwa Rakyat atau Jiwa Bangsa. Dari sini kiranya jelas bahwa hukum pada hakekatnya adalah manifestasi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, sehingga dengan demikian hukum tumbuh dan berkembang seiring perkembangan masyarakat karena hukum adalah bagian dari masyarakat, cerminan dari jiwa masyarakat, cerminan dari rasa keadilan rakyat. Sehingga, jika suatu hukum hendak dibuat dalam bentuk formal oleh negara maka hal yang seharusnya dijadikan sebagai sumber pembentuk substansi hukum tersebut tidak lain adalah nilai-nilai yang hidup di masyarakat, dengan demikian hukum positif tidak lain adalah formulasi formal dari value consciousness masyarakat dengan nalar keadilan berdasarkan rasa keadilan rakyat.
[14] Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materil Indonesia di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar, (Semarang, FH UNDIP, TT), hlm. 3. 
[15] Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP 2008 disebutkan: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam  peraturan perundang-undangan.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar