A. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku
bangsa, agama, adat istiadat, bahasa, ras, kebudayaan yang tersebar di seluruh
Nusantara. Keberagaman ini merupakan suatu kekayaan yang dimiliki bangsa
Indonesia yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun. Dalam kehidupan sosial,
suatu masyarakat khususnya masyarakat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
hukum, sebagaimana adagium yang sering kita dengar yakni ibi ius ibi
societas (dimana ada masyarakat disitu terdapat hukum) oleh karenanya
Indonesia menjadi suatu negara yang berdasarkan hukum (rechts staat).
Dalam sistem hukum Indonesia, dikenal tiga sistem hukum yang menjadi
bagian yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya, yakni hukum adat, hukum
Islam, dan hukum barat. Berbicara mengenai hukum adat di Indonesia, adat yang
dimiliki oleh daerah-daerah suku-suku bangsa Indonesia adalah berbeda-beda,
meskipun sifat dan dasarnya adalah satu, yaitu ke-Indonesiaan. Oleh karena itu
maka adat bangsa Indonesia dikatakan merupakan “Bhinneka” (berbeda-beda di
daerah suku-suku bangsanya), “Tunggal Ika” (tetapi tetap satu juga, yaitu dasar
dan sifat ke-Indonesiaannya). Dan adat bangsa Indonesia yang “Bhinneka Tunggal
Ika” ini tidak mati, melainkan selalu berkembang, senantiasa bergerak serta
berdasarkan keharusan selalu dalam keadaan evolusi mengikuti proses dan
perkembangan peradaban bangsanya.[1]
Antara hukum dengan kehidupan masyarakat memang berkaitan erat,
hukum berperan besar dalam mewujudkan ketertiban dan kemananan. Apabila hal-hal
yang menyimpang terjadi, maka peran hukum dapat dilihat secara lebih konkrit
dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Di dalam ranah lapangan hukum
pidana, ada dua hukum yang berbeda yang digunakan oleh masyarakat Indonesia
yakni, hukum pidana yang bersumber pada peraturan yang tidak tertulis serta
kebiasaan adat setempat (namun ada sebagian daerah yang mengkodifikasikannya
dalam suatu peraturan adat atau hukum pidana adat) dan hukum yang bersumber
pada peraturan yang tertulis yakni hukum pidana yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (warisan kolonial Belanda).
Hukum pidana adat atau delik adat (sebagaimana diartikan Van Vollenhoven)[2] adalah mengatur
mengenai tindakan yang melanggar rasa keadilan dan kepatutan yang hidup
ditengah masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta
keseimbangan masyarakat. Untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan
tersebut, maka terjadi reaksi adat.[3]
Keberadaan hukum pidana adat pada masyarakat merupakan pencerminan
kehidupan masyarakat tersebut dan pada masing-masing daerah memiliki hukum
pidana adat yang berbeda-beda sesuai dengan adat istiadat yang ada di daerah
tersebut dengan ciri khas tidak tertulis dan terkodifikasi.[4]
Pada dasarnya hukum pidana Indonesia yang sekarang berlaku merupakan
warisan kolonial yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch
Indie (Staatblad 1915 No 732), sehingga dapat dipahami bahwa asas-asas dan
dasar-dasar tata hukum pidana Indonesia dan hukum pidana kolonial masih berlaku
di Indonesia. Usaha untuk menggali hukum pidana adat yang merupakan hukum
pidana asli Indonesia terus dilakukan secara berkesinambungan dalam rangka
pembaharuan hukum pidana. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi
pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang
berorientasi pada nilai (value-oriented approach). Ketika kita melihat
pembaharuan pidana melalui sudut pendekatan nilai, maka upaya melakukan
peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai sosiopolitik,
sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap
muatan normatif dan substantif hukum pidana yang akan datang, diharapkan mampu
mengefektifkan hukum pidana tersebut dalam aplikasinya. Sehingga perlu
ditanamkan nilai-nilai hukum pidana adat sebagai muatan hukum normatif dan
substantif dalam hukum pidana nasional yang dicita-citakan dimasa yang akan
datang.
Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ada sekarang ini
tidak terlepas dari pemikiran bahwa karakteristik hukum di Indonesia merupakan
adopsi dari tatanan sosial masyarakat yang tercermin dalam tata laku hidup dan
kehidupan sosial dalam ranah keragaman masyarakat Indonesia yang heterogen dan
plural. Keberadaan hukum adat khususnya pidana adat sebagai hukum yang hidup
dan berkembang di masyarakat tidak dapat dipungkiri peranannya dalam suatu
kerangka dasar penyusunan hukum pidana nasional di masa yang akan datang.
Berdasarkan
hal tersebut maka akan dibahas dalam tulisan ini bagaimana posisi hukum pidana
adat di Indonesia serta bagaimana memposisikan nilai-nilai hukum pidana adat
sebagai sumber hukum dalam pembaharuan hukum pidana nasional.
B. PEMBAHASAN
1. Posisi Hukum Pidana Adat di Indonesia
Ketika dilihat dari kearifan masyarakat adat Indonesia yang bercorak
religios-magis, secara konkrit terkristalisasi dalam produk hukum masyarakat
lokal, yang dalam ancangan antropologi hukum disebut hukum kebiasaan (customary),
hukum rakyat (folk law), hukum penduduk asli (indigenous law),
hukum tidak tertulis (unwritten law), atau hukum tidak resmi (unofficial
law), atau dalam konteks Indonesia disebut hukum adat (adat
law/adatrecht).[5]
Jenis hukum rakyat ini merupakan sistem norma yang mengejawantahkan
nilai-nilai, asas, struktur, kelembagaan, mekanisme, dan religi yang tumbuh,
berkembang, dan dianut mesyarakat lokal, dalam fungsinya sebagai instrumen
untuk menjaga keteraturan interaksi antara warga masyarakat (social order),
keteraturan hubungan dengan sang pencipta dan roh-roh yang dipercaya memiliki
kekuatan supranatural (spiritual order), dan menjaga keteraturan
perilaku masyarakat dengan alam lingkungannya (ecological order).[6]
Pada dasarnya hukum pidana adat adalah hukum yang hidup dan akan terus
hidup, selama ada manusia dan budaya, ia tidak akan dihapus dengan perundang-undangan.
Andaikata diadakan juga undang-undang yang akan menghapuskannya, maka akan
percuma saja, malahan hukum pidana perundang-undangan akan kehilangan sumber
kekayaannya, oleh karena hukum pidana adat lebih dekat dengan hubungannya
dengan antropologi dan sosiologi daripada hukum perundang-undangan.[7]
Dilihat dari perspektif normatif, teoritis, asas dan praktik dimensi dasar
hukum dan eksistensi keberlakuan hukum pidana adat di Indonesia bertitik tolak
berdasar dari ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1
Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan
Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil (LN 1951 Nomor 9). Pada
ketentuan dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa:
“Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana
sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan
orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk
kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian bahwa suatu perbuatan yang menurut
hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya
dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak
lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai
hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh
pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh Hakim
dengan besar kesalahan terhukum, bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan
itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda
yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman
pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang
menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa diganti seperti
tersebut di atas, bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus
dianggap perbuatan pidana yang ada bandingnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman sama dengan hukuman
bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana tersebut”.
Selain ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1
Tahun 1951, maka dasar hukum berlakunya hukum pidana adat juga mengacu
ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara
eksplisit maupun implisit ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan
Pasal 50 ayat (1) dalam undang-undang tersebut meletakkan dasar eksistensi
hukum pidana adat. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
menyatakan bahwa:
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Kemudian ketentuan Pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada dan kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 50 ayai (1) disebutkan:
“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan juga
memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau
sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
Ada tiga konklusi dasar dari ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang Tindakan-Tindakan Sementara
Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara
Pengadilan-Pengadilan Sipil. Pertama, bahwa tindak pidana adat yang
tiada bandingan atau padanan dalam KUHP dimana sifatnya tidak berat atau
dianggap tindak pidana adat yang ringan ancaman pidananya adalah pidana penjara
dengan ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak lima ratus rupiah
(setara dengan kejahatan ringan), minimumnya sebagaimana termaktub dalam
ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu 1 hari untuk pidana penjara dan pidana denda
minimal 25 sen sesuai dengan ketentuan Pasal 30 KUHP. Akan tetapi, untuk tindak
pidana adat yang berat ancaman pidana paling lama 10 tahun , sebagai pengganti
dari hukuman adat yang tidak dijalani oleh terdakwa. Kedua, tindak
pidana adat yang bandingannya dalam KUHP maka ancaman pidananya sama dengan
ancaman pidana yang ada dalam KUHP seperti misalnya tindak pidana adat Drati
Kerama di Bali atau Mapangaddi (Bugis) Zina (Makassar) yang
sebanding dengan tindak pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP. Ketiga,
sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat dijadikan pidana pokok
dan atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
perbuatan yang menurut hukum yang hidup (living law) dianggap sebagai
tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada
bandingnya dalam KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan KUHP.[8]
2 2. Memposisikan Nilai-Nilai Hukum Pidana Adat
sebagai Sumber Hukum dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
Secara umum pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan
kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia merupakan bagian dari suatu langkah
kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum,
politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Di dalam setiap
kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu,
pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.[9]
Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan. Pertama, sebagai bagian
dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan
bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah
kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan
masyarakat dan sebagainya). Kedua, sebagai bagian dari kebijakan
kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan). Ketiga,
sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal
substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.[10]
Dilihat dari sudut pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali
(reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan
sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan
substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (reformasi)
hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan
(misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama
warisan penjajah (Wetboek van Strafrechts).[11]
Barda Nawawi Arief dalam pidato pengokohan guru besarnya menyatakan bahwa,
penggalian dan pengembangan nilai-nilai hukum pidana yang hidup di dalam
masyarakat bertumpu pada dunia akademik/keilmuan. Nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat sebagai “batang terendam” yang belum banyak terangkat ke
permukaan. Upaya pengangkatan batang terendam ini penting dilakukan untuk
dikaji secara mendalam sebagai bahan penyusunan hukum nasional.[12]
Pada asasnya, secara substansial sistem hukum pidana adat berlandaskan
pada nilai-nilai yang terkandung dalam suatu masyarakat dengan bercirikan asas
kekeluargaan, religius magis, komunal dan bertitik tolak bukan atas dasar
keadilan individual akan tetapi keadila secara bersama. Konsekuensi logis
dimensi penyelesaian membawa keselarasan, kerukunan dan kebersamaan. Tegasnya,
hukum adat lebih mengedepankan eksistensi pemulihan kembali keadaan yang terguncang
akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku.
Karakter-karakter nilai hukum pidana adat yang telah dikemukakan tersebut
adalah cerminan dari karakter masyarakat Indonesia. Sifat kekeluargaan dan
komunalistik dapat terlihat dari kebiasaan gotong-royong yang biasa dilakukan
dalam menghadapi pekerjaan besar secara bersama-sama ataupun dalam mekanisme
musyawarah yang biasa dilakukan masyarakat sejak berabad-abad lampau dalam
memecahkan suatu permasalahan bersama. Sifat religius magis terlihat dari kebiasaan
masyarakat seperti halnya pemberian sesajen, upacara selamatan, sedekah bumi
dan lainnya. Hal itu mencerminkan masyarakat Indonesia membedakan antara
dimensi dunia lahir dan dunia gaib.
Apabila kita memperhatikan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dengan
masyarakat, maka ada alasan pula untuk mengatakan bahwa sumber hukum dalam
kaitan ini adalah hukum pidana adat maka sumber hukum tersebut adalah
masyarakat. Yang dimaksud dengan masyarakat adalah hubungan antar individu
dalam suatu kehidupan bersama (bermasyarakat). Sumber hukum sebenarnya adalah
kesadaran masyarakat tentang apa yang dirasakan adil dalam mengatur hidup
kemasyarakatan yang tertib dan damai. Jadi, sumber hukum tersebut harus
mengalirkan aturan-aturan (norma-norma) hidup yang adil dan sesuai dengan
perasaan dan kesadaran hukum (nilai-nilai) masyarakat, yang dapat menciptakan
suasana damai dan teratur karena selalu memperhatikan kepentingan masyarakat.
Oleh karenanya, pembaharuan hukum pidana di sini haruslah dilakukan secara
menyeluruh dan sistematis dengan memperhatikan nilai-nilai yang berkembang
dimasyarakat. Jadi, ukuran untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan bergantung
pada nilai-nilai dan pandangan kolektif yang terdapat di masyarakat mengenai
apa yang benar, baik, bermanfaat atau sebaliknya. “Das rechts wird nicht
gemacht, es ist und wird mit dem volke” yang berati hukum itu
tidak dibuat, tetapi berada dan berkembang dengan jiwa bangsa seperti
pendapatnya Von Savigny.[13]
Mengutip pendapat Muladi, KUHP Nasional di masa-masa datang dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru. Khusus sepanjang yang
menyangkut alasan sosiologis, hal ini dapat menyangkut yang bersifat ideologis
maupun hal-hal yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi
Indonesia sepanjang tetap dalam kerangka bagian budaya bangsa (subsulture)
dan bukan merupakan budaya tandingan (counter culture).[14]
Sebagai implementasi pemikiran Muladi itu, mengenai pembaharuan hukum
pidana nasional, dikatakan bahwa dalam Rancangan KUHP Baru telah memuat suatu
rumusan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan yang dilakukan tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan dan mengakui adanya hukum yang hidup
atau hukum adat yang berlaku. Jadi selain adanya asas legalitas sebagai asas
yang fundamental bagi negara Republik Indonesia yang berdasarkan hukum juga mengakui
adanya hukum pidana adat yang masih hidup untuk daerah-daerah tertentu.[15]
Dengan perumusan pasal 1 ayat (3) RUU KUHP itu maka hukum adat dapat
menjadi sumber hukum positif dalam arti hukum pidana adat dapat menjadi dasar
hukum pemeriksaan di Pengadilan dan juga sebagai sumber hukum negatif
yaitu ketentuan-ketentuan hukum adat dapat menjadi alasan pembenar, alasan
memperingan pidana atau memperberat pidana. Sebagai dasar problematika
substantif hukum pidana adat dan hukum pidana nasional, dengan sendirinya akan
teratasi karena hukum yang nantinya akan terbangun adalah hukum yang
benar-benar berasal dari masyarakat dan hukum tersebut memang bersubstansikan
langsung dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Dengan demikian hukum akan
selalu linier dengan tuntutan keadilan bagi seluruh masyarakat, serta hukum
pidana adat di masa yang datang akan menjadi sumber hukum dan menjadi dasar
dalam pembentukan hukum pidana nasional. Oleh karena itu hukum pidana adat
sangat relevan untuk dijadikan bahan penyusunan Rancangan KUHP yang akan
berlaku secara efektif. Sehingga KUHP Baru Indonesia akan mencerminkan
nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan sesuai dengan kebudayaan bangsa yang
berasal dari jiwa serta kepribadian bangsa.
C. Penutup
1. Kesimpulan
Secara eksplisit dan impllisit dalam Undang-Undangan
Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan
Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil dan juga
ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah
terlihat meletakkan dasar eksistensi hukum pidana adat di Indonesia.
Berangkat dari adanya kesadaran kritis dari memahami posisi nilai-nilai
hukum pidana adat , maka tawaran dan wacana untuk kembali kepada hukum adat
sebagai masukan pembangunan dan pengembangan hukum pidana nasional yang
menjadi suatu tawaran yang logis, kritis, serta solutif, sehingga dengan
demikian akan menjadikan suatu wujud keyakinan dalam tujuan penciptaan hukum
pidana nasional yang mampu memberikan keadilan bagi rakyat Indonesia
2. Saran
Mengamini dari posisi hukum pidana adat dalam perundangan
Indonesia yang terlihat secara eksplisit dan implisit, tidak dapat dipungkiri
hukum pidana adat dapat dimasukkan ke dalam konsep pembaharuan hukum pidana
nasional, sehingga diharapkan para pemangku kepentingan untuk terus memperkuat,
mengkaji dan memperkaya materi yang menjadi masukan dalam pembaharuan hukum
pidana nasional yang tidak terlepas dari nilai-nilai hukum pidana adat yang ada
di Indonesia.
[1] Surojo Wignjodipuro, Pengantar Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta:
Gunung Agung Anggota IKAPI, 1982), hlm. 13.
[2] Van Vollenhoven dalam bukunya En Adatwetboekje voor heel Indie
Pasal 92 menyebutkan bahwa pengertian delik adat itu sebagai perbuatan yang
tidak dibolehkan. Lihat Ibid, hlm. 228.
[4] Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Menuju Hukum Adat Minangkabau,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 11.
[5] I Nyoman Nurjaya, Menuju Pengakuan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam: Perspektif Antropologi Hukum, dalam Rachmad Syafa’at,
dkk, Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal, (Malang: In-Trans
Publishing, 2008), hlm. 8.
[8] Lilik Mulyadi, Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian
Asas, Teori, Praktik, dan Prosedurnya. Tulisan tersebut dapat dilihat dalam
website Pengadilan Negeri Kepanjen. http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=117&Itemid=36
diakses tanggal 29/12/2013.
[9] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Edisi Kedua Cetakan ke-3,
(Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 29.
[12] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana
(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), (Semarang: Universitas
Diponegoro, 2007), hlm. 50.
[13] Dalam teori Von Savigny disebutkan bahwa setiap bangsa mempunyai jiwanya
masing-masing yang disebut Volkgeist, artinya Jiwa Rakyat atau Jiwa
Bangsa. Dari sini kiranya jelas bahwa hukum pada hakekatnya adalah manifestasi
nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, sehingga dengan demikian hukum
tumbuh dan berkembang seiring perkembangan masyarakat karena hukum adalah
bagian dari masyarakat, cerminan dari jiwa masyarakat, cerminan dari rasa
keadilan rakyat. Sehingga, jika suatu hukum hendak dibuat dalam bentuk formal
oleh negara maka hal yang seharusnya dijadikan sebagai sumber pembentuk
substansi hukum tersebut tidak lain adalah nilai-nilai yang hidup di
masyarakat, dengan demikian hukum positif tidak lain adalah formulasi formal
dari value consciousness masyarakat dengan nalar keadilan berdasarkan
rasa keadilan rakyat.
[14] Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materil Indonesia di Masa Datang,
Pidato Pengukuhan Guru Besar, (Semarang, FH UNDIP, TT), hlm. 3.
[15] Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP 2008 disebutkan: Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar